Sabtu, 13 September 2014

zakat profesi

Bab I
A.   PENDAHULUAN

Pada zaman yang serba modern dan instan seperti zaman sekarang, banyak manusia mendapatkan penghasilan yang begitu besar dengan bermodalkan ilmu pengetahuan yang didapat dari jenjang pendidikan formal. Pendidikan yang menusia dapat dari sistem pendidikan yang di programkan oleh pemerintah, sedikit banyaknya dapat menimbulkan penghasilan-penghasilan yang luar biasa besarnya di bandingkan hasil pertanian, peternakan dan perkebunan. Memang dalam satu kali panen dengan jangka satu tahun, dari tiga bidang tersebut bisa menghasilkan keuangan besar, namun bagi orang yang berpendidikan, penghasilan keuangan dalam satu bulan terkadang sama dengan penghasilan panen dari tiga bidang tersebut. Karena dengan pendidikan yang didapat oleh manusia, ia bisa memeliki profesi-profesi yang sesuai dari bidang pendidikan yang telah ia perdalami.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument zakat profesi di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta). Dengan munculnya zakat profesi ini memunculkan banyak perbincangan. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut.
Zakat profesi itu sendiri merupakan zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Zakat profesi memang belum dikenal dalam khazanah keilmuan Islam, jadi banyak diperdebatkan.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian zakat profesi, profesi apa yang harus dizakati dan ketentuan dalam zakat profesi.



B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.       Apa pengertian dari zakat profesi?
2.      Apa landasan hukum kewajiban zakat profesi?
3.      Kapan waktu mengeluarkan zakat profesi?
4.      Berapa nisab zakat profesi?

 C. TUJUAN PEMBAHASAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasannya adalah:
-          Untuk memahami pengertian dari zakat profesi .
-          Untuk memahami dalil yang mewajibkan zakat profesi.
-          Untuk memahami mengenai waktu pengeluaran zakat profesi .
-          Untuk memahami nisab zakat profesi.



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Zakat Profesi

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu.
Yusuf Al-Quradhawi menyatakan bahwa di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum Muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang di usahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan dilakukan secara sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit, pelukis, mungkin juga da’i atau mubaligh, dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama, misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan munggunakan sistem upah atau gaji.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai tipe zakat profesi belum dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Disamping itu berdasarkan tujuan disyari’atkannya zakat, seperti untuk membersihkan dan mengembangkan harta serat menolong para mustahik, zakat profesi juga mencerminkan rasa keadilan yang merupakan ciri utama ajaran islam, yaitu kewajiban zakat pada semua penghasilan dan pendapatan. [1]

B.     Landasan hukum zakat profesi
Pertama, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta dikeluarkan zakatnya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 267:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ
 Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk- buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah yang bersifat umum, yaitu al-am-waal, sementara sebagian lain secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-Maal al-Mustafaad seperti terdapat dalam Fiqhus Zakat dan al-Fiqh Al-Islam wa ’Adillatuhu.
Ketiga, dari sudut keadilan yang merupan ciri utama ajaran islam. Penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya saat ini kurang beruntung tetap harus berzakat, apabila pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu, sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan oleh para pekerja seperti dokter, ahli hukum, karyawan dan profesi lainnya.
Keempat, sejalan dengan perkembangan hidup manusia,khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahliaa dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di negara-negara industri sekatang ini. Penetapan kewajiban zakat padanya, menunjukkan betapa hukum islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zakat. Afif Abdul Fatah Thabari menyatakan bahwa aturan dalam islam itu bukan saja sekedar berdasrkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zakat itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.[2]

C.     Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi
Beberapa ulama berbeda pendapat dalam menentukan waktu pengeluaran zakat profesi sebagai berikut:
1.      Menurut pendapat As-syafi’i dan Ahmad
Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat .

2.      Menurut pendapat Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern.
Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.

3.      Menurut Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern.
 Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.[3]

D.    Nisab Zakat Profesi
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab  dan kadar. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi)  yang dilakukan :
1.       Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Contoh cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
2.      Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan.
Contoh: Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
3.      Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan.

Zakat profesi bila dianalogikan pada dua hal sekaligus, yaitu pada zakat pertanian dan pada zakat emas dan perak. Dari sudut nisab dapat dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar 5 ausaq atau senilai 653 kg  padi/gandum dan dikeluarkan pada saat menerimanya. Misalnya setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji bulanan langsung dikeluarkan zakatnya, sama seperti zakat pertanian yang dikeluarkan pada saat panen. Sebagaimana yang telah digambarkan Allah swt. Dalam surat al-An’am ayat 141.
Karena dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul. Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerimanya, misalnya setiap bulan, dapat didasarkan pada tradisi suatu negara. Karena itu, pendapatan setiap hari, misalnya dokter yang membuka praktek setiap sendiri, atau para da’i yang setiap hari berceramah, zakatnya dikelurkan setiap bulan sekali.
Penganalogian zakat profesi dengan zakat pertanian dilakukan karena ada kemiripan antara keduanya (asy-syabah). Jika pada hasiil panen pada setiap panen berdiri sendiri, maka tidak terkait antara penerima bulan kesatu dan bulan kedua dan seterusnya. Berbeda dengan perdagangan yang selalu terkait antara bulan pertama dan bulan kedua dan seterusnya sampai dengan jangka waktu satu tahun atau tahun tutup buku.
Dari sudut kadar zakat, dianalogikan pada zakt uang karena memang gaji, honorarium, upah dan lainnya, pada umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadr zakatnya adalah sebesar rub’ul usyuri atau 2,5%.
Qiyas syabah yang digunakan dalam penetapan kadar dan nisab zakat profesi pada zakat pertanian dan zakat nuqud (emas dan perak) adalah qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode syabah.[4]



KESIMPULAN
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu.
Profesi yang dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung pada orang lain, berkan kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan seseorang buata pihak lain baik pemerintah, perusahaan maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang di berikan, dengan tangan, otak ataupun kedua-duanya.
Para ahli fiqh kontemporer berpendapat bahwa nisab zakat profesi diqiyaskan (dianalogikan) dengan nisab kategori aset wajib zakat keuangan yaitu senilai 85 gram emas atau 200 dirham perak dan dengan syarat kepemilikannya telah melalui  kesempurnaan masa haul. Sedangkan untuk pendapatan dari hasil kerja profesi (pasif income) para fuqaha berpendapat niosab zakatnya dapat diqiyaskan dengan zakat hasil perkebunan dan pertanian yaitu 750 kg beras dari benih hasil pertanian dan dalam hal ini tidak disyaratkan kepemilikan satu tahun (tidak memerlukan masa haul).
Bila kesadaran berzakat telah tumbuh dengan baik, maka cara mana pun yang akan kita tempuh dalam menghitung zakat, tentu tidak ada lagi umat islam yang berkeberatan dan mengelak dari kewajiban menunaikan zakat.



DAFTAR PUSTAKA

Qhardawi Yusuf.Hukum Zakat . Jakarta:PT.Pustaka Litera AntarNusa, 1988
Hasan M.Ali. Zakat dan Infak.Jakarta:Kencana,2008
Hasan M.Ali.Masail Fiqiyah.Jakarta:PT. Raja Grafindo Persad,1997




[1]
[2]
[3] Yusuf Qhardawi,Hukum Zakat( Jakarta:PT.Pustaka Litera AntarNusa, 1988)hal 460
[4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar