Kamis, 11 September 2014

pengelolaan dan penditribusian dana wakaf

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :
1.    Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2.    Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya senantiasa berdasarkan pada prinsip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan.
3.    Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4.    Profesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli di bidangnya, baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5.    Prinsip Kemandirian, prinsip ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip profesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.[1]

Pengelolaan zakat di Indonesia sangat penting, pengelolaan itu diantaranya bertujuan untuk;
1.      Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
2.      Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.[2]

Secara umum, pengelolaan zakat diupayakan untuk dapat menggunakan fungsi fungsi manajemen modern yang meliputi; Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengarahan serta Pengawasan. Perencanaan meliputi; merumuskan rancang bangun organisasi, perencanaan program kerja yang terdiri dari: penghimpunan (fund raising), pengelolaan dan pendayagunaan. Pengorganisasian meliputi; kordinasi, tugas dan wewenang, penyusunan personalia, perencanaan personalia dan recruiting. Pelaksanaan dan pengarahan terdiri dari; pemberian motivasi, komunikasi, model kepemimpinan, dan pemberian reward dan sangsi. Sedangkan pengawasan meliputi; Tujuan pengawasan, tipe pengawasan, tahap pengawasan serta kedudukan pengawas. [3]

B.     Pendistribusian Zakat
Ada beberapa ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq:
1.        Mengutamakan distribusi domestik, dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan penerima zakat yang berada dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat (wilayah muzakki) dibandingkan pendistribusiannya untuk wilayah lain.
2.        Pendistribusian yang merata dengan kaidah-kaidah sebagai berikut:
a.    Bila zakat yang dihasilkan banyak, seyogyanya setiap golongan mendapat bagiannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
b.    Pendistribusiannya haruslah menyeluruh kepada delapan golongan yang telah ditetapkan.
c.    Diperbolehkan untuk memberikan semua bagian zakat kepada beberapa golongan penerima zakat saja, apabila didapati bahwa kebutuhan yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan secara khusus.
d.   Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat, karena memenuhi kebutuhan mereka dan membuatnya tidak bergantung kepada golongan lain adalah maksud dan tujuan diwajibkannya zakat.
3.        Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat. Zakat baru bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan juga kepercayaan bahwa si penerima adalah orang yang berhak dengan cara mengetahui atau menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di lingkungannya, ataupun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya.[4]

Model Distribusi Zakat
1.    Distribusi Konsumtif  Dana Zakat
Dalam distribusi konsumtif disini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:[5]
a.    Konsumtif  Tradisional
Zakat dibagikan kepada mustahiq dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari seperti pembagian zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri atau pembagian zakat mal secara langsung oleh para muzakki kepada mustahiq yang sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan atau karena mengalami musibah. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat.
b.    Konsumtif  Kreatif
Zakat diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain berupa alat-alat sekolah dan beasiswa untuk pelajar, batuan sarana ibadah seperti sarung dan mukena, alat pertanian, gerobak jualan untuk para pedagang dan lain sebagainya.
Pola pendistribusian dana zakat secara konsumtif diarahkan kepada:
1)   Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar dari para mustahiq.
2)   Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis.
3)   Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan SDM agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
2.    Distribusi Produktif Dana Zakat
Pola distribusi dana zakat produktif menjadi menarik untuk dibahas mengingat statement syariah menegaskan bahwa dana zakat yang terkumpul sepenuhnya adalah hak milik dari mustahiq delapan asnaf. Konsep distribusi produktif yang dikedepankan oleh sejumlah lembaga pengumpul zakat, biasanya dipadukan dengan dana lain yang terkumpul, misal infaq dan sadaqah.



Dalam Pendistribusian Zakat Produktif disini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu antara lain :
a.         Produktif Tradisional
Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha. Misalnya pemberian bantuan ternak kambing, sapi perahan, mesin jahit, alat pertukangan, dan lain sebagainya .
b.         Produktif  Kreatif
Zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial seperti membangun sekolah, tempat ibadah, maupun sebagai modal usaha untuk membantu mengembangkan usaha para pedagang atau pengusaha kecil.
Zakat secara produktif ini bukan tanpa dasar, zakat ini pernah terjadi di zaman Rasulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran zakat yang bersifat produktif, Syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh Zakat mengemukakan bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa.
Pola distribusi zakat produktif yang dikembangkan pada umunya mengambil skema qardhul hasan. Yaitu salah satu bentuk pinjaman yang menetapkan tidak adanya tingkat pengembalian tertentu dari pokok pinjaman. Namun bila ternyata si peminjam dana tersebut tidak mampu mengembalikan pokok tersebut, maka hukum zakat mengidentifikasikan bahwa si peminjam tersebut tidak dapat dituntut atas ketidakmampuannya tersebut, karena pada dasarnya dana tersebut adalah hak mereka.
Ada juga penyaluran dana zakat produktif yang memanfaatkan skema mudharabah. Lembaga BAZIS membuat inovasi dimana lembaga amil tersenut berlaku sebagai investor (mudharib) yang menginvestasikan dana hasil pengumpulan ZIS kepada mustahiq sendiri, sebagai peminjam dana yang dituntut tingkat pengembalian tertentu khusus bagi para pedagang kecil di pasar tradisional, dengan angsuran pinjaman dan tingkat pengembalian dibayarkan per hari. [6]

3.    Langkah-langkah Pendistribusian Zakat[7]
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut:
a.    Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b.    Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c.    Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab.
d.   Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.

C.    Sistem Pengelolaan Dana Wakaf
Untuk mengelola dana wakaf, harus ada sistem yang diterapkan. Paling tidak, ada pola (standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan sudah dikumpulkan dapat diberdayakan secara maksimal. Standar atau pola tersebut terkait dengan hal-hal berikut:
1.      Memberi Peran Perbankan Syariah
Ada beberapa alternatif peran dan posisi perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yaitu:


a.       Bank Syariah sebagai nazhir penerima, penyalur dan pengelola dana wakaf
Artinya bank mendapat kewenangan penuh untuk menjadi nazhir, mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke bank syariah akan menerima sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh bank syariah, sehingga tanggung jawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta penyaluran hasil pengelolaan tersebut, sepenuhnya ada pada bank syariah.
b.      Bank syariah sebagai nazhir penerima dan penyalur dana wakaf
Dalam aleternatif ini, bank syariah hanya nazhir penerima dan penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana akan dilakukan oleh lembaga lain, misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang dengan sendirinya tanggung jawab pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada pada BWI ini.
Keunggulan perbankan syariah dalam konteks ini berupa adanya jaringan kantor serta jaringan informasi dan peta distribusi digunakan untuk menggalang dana wakaf maupun untuk menyalurkan hasil pengelolaan dana wakaf kepada yang berhak. Sedangkan kemampuan profesional perbankan syariah dalam pengelolaan dana tidak digunakan.
c.       Bank syariah sebagai pengelola (fund manager) dana wakaf
Dalam alternatif ini keunggulan perbankan syariah berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana digunakan secara efektif. Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan lembaga penjamin berada  pada lembaga perbankan syariah. Sedangkan keunggulan lembaga perbankan syariah berupa jaringan kantor, jaringan informasi serta peta distribusi, tidak dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penggalangan dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan dana wakaf.
d.      Bank syariah sebagai kustodi
Alternatif keempat dibut untuk mengantisipasi jika bank syariah tidak diberikan kesempatan untuk berperan secara optimal dalam pengelolaan wakaf tunai. Hal ini disebabkan adanya rencana pemerintah untuk mendirikan BWI yang bertugas membina dan mengawasi nazhir. Jika pemerintah menunjuk nazhir yang memiliki wewenang penuh sebagai penerima, pengelola dana sekaligus penyalur dana wakaf, maka bank syariah mash bisa berpran dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh BWI.
Wakif selaku orang yang berwakaf dapat menyetorkan dananya ke bank syariah atas nama rekening BWI yang ada di bank syariah tersebut dan akan mendapatkan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut diterbitkan oleh BWI dan dititipkan di bank syariah. Sertifikat Wakaf Tunai tersebut akan diadministrasikan secara terpisah dari kekayaan bank. Karena bank syariah hanya berfungsi sebagai kustodi maka tanggung jawab terhadap wakif terletak pada BWI. Dana wakaf yang ada di rekening BWI kemudian akan dikelola oleh badan itu sendiri dan hasil pengelolaan dana untuk sasaran juga akan disalurkan oleh BWI.
e.       Bank syariah sebagai kasir Badan Wakaf Indonesia
Peran bank syariah dalam alternatif ini sangat terbatas. Alternatif ini hampir sama dengan alternatif 4 dalam hal wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukkan ke erekening BWI. Perbedaannya adalah bank syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh BWI. Rekening BWI akan dipelihara oleh bank syariah sebagaimana layaknya rekening-rekening lainnya yang akan mendapatkan bonus atau bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip syariah yang digunakan (giro, wadi’ah, tabungan wadi’ah atau tabungan mudharabah).
Tanggung jawab terhadap wakif, pengelola dana dan penyaluran dana akan menjadi tanggung jawab BWI. Oleh karena itu, Badan wakaf-lah yang akan berhubungan dengan Lembaga Penjamin untuk menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya.
2.      LKS sebagai Penerima Wakaf Uang
Adapun tugas dari LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) adalah:
a.       Mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang
b.      Menyediakan blanko Sertifikat Wakaf Uang
c.       Menerima secara tunau wakaf uang dari wakif atas nama nazhir
d.      Menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nazhir yang ditunjuk wakif
e.       Menerima pernyataan kehendak wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak wakif
f.       Menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada nazhir yang ditunjuk oleh wakif
g.      Mendaftarkan wakaf uang kepada menteri atas nama nazhir
3.      Membentuk lembaga investasi dana
Salah satu cara pemperdayaan dana wakaf tunai tersebut adalah dengan mekanisme investasi. Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak mengandung riba. Menurut Direktorat Pemberdayaan wakaf, Lembaga Investasi yang paling tepat adalah bank Syariah, penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Kemampuan akses kepada calon wakif
Karena bank dapat melihat calon wakif yang potensial dengan mengamati jumlah deposito, tabungan atau mutasi giro yang bersangkutan.
b.      Kemampuan melakukan investasi dana wakaf
Investasi wakafdapat dilakukan dengan berbagai jenis investasi, yaitu:
1)      Investasi jangka pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah untuk menyalurkan kredit mikro.
2)      Investasi jangka menengah: yaitu industri/usaha kecil. Dalam hal ini Bank Indonesia telah terbiasa dengan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP dan KUK.
3)      Investasi jangka panjang: yaitu untuk industri manufaktur, industri besar lainnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi besar.
c.       Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf
Benefit hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan kepada beneficary. Pendistribusian ini mengacu pada persyaratan yang diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan tersebut.
d.      Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat
Bank Syariah memiliki kredibilitas yang tinggi di masyarakat, selain itu dalam hal regulasi bank syariah merupakan lembaga yang Syariah high regulated, di mana DSN dan DPS senantiasa memantau.
4.      Menjalin Kemitraan Usaha
Untuk mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf, salah satu caranya adalah dengan membentuk dan menjalin kerjasama dengan perusahaan modal ventura. Selain bekerjasama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan mengembangkan dana wakaf, bisa juga bekerja sama dengan:
a.       Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya sebagai pihak yang memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak nazhir wakaf berbentuk kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak bank.
b.      Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap pengembangan benda wakaf yang dianggap strategis.
c.       Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk saham kepemilikikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisadilakukan lebih darisatu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai dengan kadar yang ditanamkan.
d.      Lembaga perbankan internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).
e.       Lembaga keuangan lainnya dengan sistem pembangunan BOT (Build of Transfer),
f.       Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.[8]




D.    Distribusi wakaf
1.      Dalam bidang pendidikan
Dalam bidang ini dana wakaf berperan dalam meningkatkan peran pesantren, Madrasah maupun perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu caranya adalah melengkapi sarana dan prasarananya. Disamping itu, dana wakaf juga dipergunakan untuk pengembangan kurikulum. Karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan suatu proses pendidikan dan penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menjawab tantangan masa depan Indonesia.
Untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, dana wakaf digunakan untuk pelatihan-pelatihan, pendidikan gratis bagi kaum dhuafa mensubsidi sekolah, pesantren dan perguruan tinggi dll.
Keberadaan lembaga riset untuk kepentingan masyarakat banyak merupakan suatu keniscayaan di tengah kebutuhan respon yang cepat dalam dunia yang serba modern. Lemahnya kemampuan umat Islam Indonesia dalam menyikapi seluruh problematika yang muncul dan berdampak negatif bagi mereka karena belum tersedianya lembaga riset publik. Sedangkan upaya pendirian lembaga-lembaga riset yang memadai tersebut memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk itu, dana wakaf yang sudah dikelola bias dijadikan salah satu sumber dana yang sangat potensial dalam rangka membiayai proyek-proyek pembangunan fisik lembaga-lembaga tersebut.
2.      Dalam bidang kesehatan dan fasilitas RS
Penghasilan wakaf bukan hanya digunakan untuk menyediakan obat-obat dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Dana wakaf juga digunakan untuk membangun rumah sakit – rumah sakit. Pendidikan medis tidak hanya diberikan oleh sekolah-sekolah medis saja tetapi juga telah diberikan oleh masjid-masjid  dan universitas-universitas seperti Universitas Al Azhar di Kairo Mesir yang dibiayai dari dana hasil pengelolaan asset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di Istambul Turki dananya berasal dari hasil pengelolaan asset wakaf.
Untuk itu, agar sektor kesehatan masyarakat lebih mendapatka perhatian lebih serius, perlu adanya upaya dari semua pihak, khususnya lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki potensi ekonomi cukup tinggi untuk ikut serta berperan dalam persoalan tersebut. Selain melalui pemberdayaan ZIS, pemberdayaan dana wakaf tunai yang sudah di kembangkan bias menjadi alternatif yang sangat menjanjikan. Paling tidak, dengan adanya riil dari dana wakaf tunai, tugas- tugas pemerintah dalam sector pendidikan dapat terbantu
3.      Dalam Bidang Pelayanan Sosial
Di Indonesia sarana pelayanan sosialnya masih terkenal sangat kurang. Hal ini terkait dengan sumber dana dari pemerintah masih sangat sedikit. Oleh karena itu, dengan adanya dana wakaf tunai diharapkan dapat menunjang hal-hal yang terkait dengan:
a.       Pembangunan fasilitas umum yang lebih memadai dan manusiawi.
b.      Pembangunan tempat-tempat ibadah dan lembaga keagamaan yang representatif.
4.      Dalam bidang pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM)
Jumlah UKM di Indonesia saat ini menempati lebih dari 95% pelaku bisnis di Indonesia. Akan tetapi sector ini cenderung diabaikan. Banyak kelemahan UKM yang masih belum ditangani dengan baik. Diantaranya, faktor modal dan pengelolaan. Oleh karenanya dana wakaf juga dialokasikan untuk pengembangan sektor ini.[9]


BAB III
KESIMPULAN


Secara umum, pengelolaan zakat diupayakan untuk dapat menggunakan fungsi fungsi manajemen modern yang meliputi; Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengarahan serta Pengawasan. Perencanaan meliputi; merumuskan rancang bangun organisasi, perencanaan program kerja yang terdiri dari: penghimpunan (fund raising), pengelolaan dan pendayagunaan. Sedangkan pendistribusian zakat adalah mengutamakan distribusi domestik, dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan penerima zakat yang berada dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat (wilayah muzakki) dibandingkan pendistribusiannya untuk wilayah lain.
Untuk mengelola dana wakaf harus ada sistem yang diterapkan. Paling tidak, ada pola (standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan sudah dikumpulkan dapat diberdayakan secara maksimal. Sedangkan dalam pendistribusian wakaf untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, dana wakaf digunakan untuk pelatihan-pelatihan, pendidikan gratis bagi kaum dhuafa mensubsidi sekolah, pesantren dan perguruan tinggi dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin. 2008. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Yogyakarta: Sukses Offset.
Mufraini, M. Arif. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2007. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: DEPAG RI.
Parakkasi, Idris.Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf .” http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/manajemen-pengelolaan-zakat-infaq.html. Diakses pada tanggal 18 November 2013.
UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Laela, Dewi Khilyatin. “Teori Umum Tentang Manajemen Zakat”.http://pondok-darussalam.blogspot.com/2009/07/teori-umum-tentang-manajemen-zakat.html. Diakses tanggal 18 November 2013.
Zakat Konsumtif dan Produktif” http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/zakat-konsumtif-dan-zakat-produktif.html. Di akses tanggal 18 November 2013.




[1] Idris Parakkasi, “Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf .” http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/manajemen-pengelolaan-zakat-infaq.html. Diakses pada tanggal 18 November 2013.
[2] UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
[3] Opcit.
[4] Dewi Laela Khilyatin, “Teori Umum Tentang Manajemen Zakat”.http://pondok-darussalam.blogspot.com/2009/07/teori-umum-tentang-manajemen-zakat.html. Diakses tanggal 18 November 2013.
[5] Fachruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008) hlm. 314.
[6] M. Arif Mufraini, Lc, M.Si., Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006) h. 138.
[7] Zakat Konsumtif dan Produktif” http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/zakat-konsumtif-dan-zakat-produktif.html. Di akses tanggal 18 November 2013.
[8] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h. 89-100.
[9] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar