BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengelolaan
Zakat
Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus
diikuti dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang
diharapkan, diantaranya :
1. Prinsip
Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan
secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2. Prinsip
Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya
senantiasa berdasarkan pada prinsip sukarela dari umat Islam yang menyerahkan
harta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai
suatu pemaksaan.
3. Prinsip
Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan
secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4. Profesionalisme,
artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleh mereka yang ahli di
bidangnya, baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5. Prinsip
Kemandirian, prinsip ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip
profesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri
dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari
pihak lain.[1]
Pengelolaan zakat di Indonesia
sangat penting, pengelolaan itu diantaranya bertujuan untuk;
1.
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat; dan
2.
Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.[2]
Secara umum, pengelolaan zakat diupayakan untuk dapat menggunakan fungsi
fungsi manajemen modern yang meliputi; Perencanaan, Pengorganisasian,
Pelaksanaan dan Pengarahan serta Pengawasan. Perencanaan meliputi; merumuskan
rancang bangun organisasi, perencanaan program kerja yang terdiri dari:
penghimpunan (fund raising), pengelolaan dan pendayagunaan.
Pengorganisasian meliputi; kordinasi, tugas dan wewenang, penyusunan
personalia, perencanaan personalia dan recruiting. Pelaksanaan dan
pengarahan terdiri dari; pemberian motivasi, komunikasi, model kepemimpinan,
dan pemberian reward dan sangsi. Sedangkan pengawasan meliputi; Tujuan
pengawasan, tipe pengawasan, tahap pengawasan serta kedudukan pengawas. [3]
B. Pendistribusian
Zakat
Ada
beberapa ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq:
1.
Mengutamakan distribusi domestik, dengan melakukan
distribusi lokal atau lebih mengutamakan penerima zakat yang berada dalam
lingkungan terdekat dengan lembaga zakat (wilayah muzakki) dibandingkan
pendistribusiannya untuk wilayah lain.
2.
Pendistribusian yang merata dengan kaidah-kaidah
sebagai berikut:
a.
Bila zakat yang dihasilkan banyak, seyogyanya setiap
golongan mendapat bagiannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
b.
Pendistribusiannya haruslah menyeluruh kepada delapan
golongan yang telah ditetapkan.
c.
Diperbolehkan untuk memberikan semua bagian zakat
kepada beberapa golongan penerima zakat saja, apabila didapati bahwa kebutuhan
yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan secara khusus.
d.
Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan
pertama yang menerima zakat, karena memenuhi kebutuhan mereka dan membuatnya
tidak bergantung kepada golongan lain adalah maksud dan tujuan diwajibkannya
zakat.
3.
Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima
zakat. Zakat baru bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan juga kepercayaan
bahwa si penerima adalah orang yang berhak dengan cara mengetahui atau
menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di lingkungannya,
ataupun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya.[4]
Model
Distribusi Zakat
1. Distribusi
Konsumtif Dana Zakat
Dalam distribusi konsumtif disini dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:[5]
a.
Konsumtif Tradisional
Zakat dibagikan kepada mustahiq
dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari seperti pembagian
zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri atau
pembagian zakat mal secara langsung oleh para muzakki kepada mustahiq yang
sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan atau karena mengalami musibah. Pola
ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat.
b. Konsumtif Kreatif
Zakat diwujudkan dalam bentuk barang
konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi
permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain
berupa alat-alat sekolah dan beasiswa untuk pelajar, batuan sarana ibadah
seperti sarung dan mukena, alat pertanian, gerobak jualan untuk para pedagang
dan lain sebagainya.
Pola pendistribusian dana
zakat secara konsumtif diarahkan kepada:
1)
Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar dari para
mustahiq.
2)
Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis.
3)
Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan
peningkatan SDM agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan
demokrasi Indonesia.
2. Distribusi
Produktif Dana Zakat
Pola distribusi dana zakat produktif
menjadi menarik untuk dibahas mengingat statement syariah menegaskan
bahwa dana zakat yang terkumpul sepenuhnya adalah hak milik dari mustahiq
delapan asnaf. Konsep distribusi produktif yang dikedepankan oleh sejumlah
lembaga pengumpul zakat, biasanya dipadukan dengan dana lain yang terkumpul,
misal infaq dan sadaqah.
Dalam Pendistribusian Zakat
Produktif disini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu antara lain :
a.
Produktif Tradisional
Zakat yang diberikan dalam bentuk
barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para
mustahiq dapat menciptakan suatu usaha. Misalnya pemberian bantuan ternak
kambing, sapi perahan, mesin jahit, alat pertukangan, dan lain sebagainya .
b.
Produktif
Kreatif
Zakat yang diwujudkan dalam bentuk
pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial seperti membangun
sekolah, tempat ibadah, maupun sebagai modal usaha untuk membantu mengembangkan
usaha para pedagang atau pengusaha kecil.
Zakat secara produktif ini bukan
tanpa dasar, zakat ini pernah terjadi di zaman Rasulullah dikemukakan dalam
sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari
ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya
untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran zakat
yang bersifat produktif, Syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh
Zakat mengemukakan bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik
atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan
keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan
hidup mereka sepanjang masa.
Pola distribusi zakat produktif yang
dikembangkan pada umunya mengambil skema qardhul hasan. Yaitu salah satu
bentuk pinjaman yang menetapkan tidak adanya tingkat pengembalian tertentu dari
pokok pinjaman. Namun bila ternyata si peminjam dana tersebut tidak mampu
mengembalikan pokok tersebut, maka hukum zakat mengidentifikasikan bahwa si
peminjam tersebut tidak dapat dituntut atas ketidakmampuannya tersebut, karena
pada dasarnya dana tersebut adalah hak mereka.
Ada juga penyaluran dana zakat
produktif yang memanfaatkan skema mudharabah. Lembaga BAZIS membuat
inovasi dimana lembaga amil tersenut berlaku sebagai investor (mudharib)
yang menginvestasikan dana hasil pengumpulan ZIS kepada mustahiq sendiri,
sebagai peminjam dana yang dituntut tingkat pengembalian tertentu khusus bagi
para pedagang kecil di pasar tradisional, dengan angsuran pinjaman dan tingkat
pengembalian dibayarkan per hari. [6]
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif
tersebut berupa sebagai berikut:
a.
Pendataan yang akurat sehingga yang menerima
benar-benar orang yang tepat.
b.
Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil,
homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian
dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c.
Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam
pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen
usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi
penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan
bertanggung jawab.
d.
Pemberian dana, dana diberikan setelah materi
tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha
yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh
pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk
menjalankan usaha sendiri.
C. Sistem
Pengelolaan Dana Wakaf
Untuk mengelola dana wakaf, harus ada sistem yang diterapkan. Paling
tidak, ada pola (standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan
sudah dikumpulkan dapat diberdayakan secara maksimal. Standar atau pola
tersebut terkait dengan hal-hal berikut:
1.
Memberi Peran Perbankan Syariah
Ada
beberapa alternatif peran dan posisi perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf
tunai, yaitu:
a. Bank
Syariah sebagai nazhir penerima, penyalur dan pengelola dana wakaf
Artinya bank mendapat kewenangan
penuh untuk menjadi nazhir, mulai dari penerima, pengelola dan penyalur dana
wakaf. Wakif yang menyetorkan dana wakaf ke bank syariah akan menerima
sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh bank syariah, sehingga tanggung
jawab penggalangan dan pengelolaan dana wakaf serta penyaluran hasil
pengelolaan tersebut, sepenuhnya ada pada bank syariah.
b. Bank
syariah sebagai nazhir penerima dan penyalur dana wakaf
Dalam aleternatif ini, bank
syariah hanya nazhir penerima dan penyalur. Sedangkan fungsi pengelola dana
akan dilakukan oleh lembaga lain, misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang
dengan sendirinya tanggung jawab pengelolaan dana, termasuk hubungan kerjasama
dengan lembaga penjamin berada pada BWI ini.
Keunggulan perbankan syariah dalam
konteks ini berupa adanya jaringan kantor serta jaringan informasi dan peta
distribusi digunakan untuk menggalang dana wakaf maupun untuk menyalurkan hasil
pengelolaan dana wakaf kepada yang berhak. Sedangkan kemampuan profesional
perbankan syariah dalam pengelolaan dana tidak digunakan.
c. Bank
syariah sebagai pengelola (fund manager) dana wakaf
Dalam alternatif ini keunggulan
perbankan syariah berupa kemampuan profesional dalam pengelolaan dana digunakan
secara efektif. Tanggung jawab pengelolaan dana serta hubungan kerjasama dengan
lembaga penjamin berada pada lembaga
perbankan syariah. Sedangkan keunggulan lembaga perbankan syariah berupa
jaringan kantor, jaringan informasi serta peta distribusi, tidak dimanfaatkan
untuk mengoptimalkan penggalangan dana wakaf dan penyaluran hasil pengelolaan
dana wakaf.
d. Bank
syariah sebagai kustodi
Alternatif keempat dibut untuk mengantisipasi
jika bank syariah tidak diberikan kesempatan untuk berperan secara optimal
dalam pengelolaan wakaf tunai. Hal ini disebabkan adanya rencana pemerintah
untuk mendirikan BWI yang bertugas membina dan mengawasi nazhir. Jika
pemerintah menunjuk nazhir yang memiliki wewenang penuh sebagai penerima,
pengelola dana sekaligus penyalur dana wakaf, maka bank syariah mash bisa
berpran dalam hal menjadi kustodi (penitipan) Sertifikat Wakaf Tunai yang
diterbitkan oleh BWI.
Wakif selaku orang yang berwakaf dapat
menyetorkan dananya ke bank syariah atas nama rekening BWI yang ada di bank
syariah tersebut dan akan mendapatkan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat Wakaf
Tunai tersebut diterbitkan oleh BWI dan dititipkan di bank syariah. Sertifikat
Wakaf Tunai tersebut akan diadministrasikan secara terpisah dari kekayaan bank.
Karena bank syariah hanya berfungsi sebagai kustodi maka tanggung jawab
terhadap wakif terletak pada BWI. Dana wakaf yang ada di rekening BWI kemudian
akan dikelola oleh badan itu sendiri dan hasil pengelolaan dana untuk sasaran
juga akan disalurkan oleh BWI.
e. Bank
syariah sebagai kasir Badan Wakaf Indonesia
Peran bank syariah dalam
alternatif ini sangat terbatas. Alternatif ini hampir sama dengan alternatif 4
dalam hal wakif menyetorkan dana wakaf ke bank untuk dimasukkan ke erekening
BWI. Perbedaannya adalah bank syariah tidak mengadministrasikan Sertifikat
Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh BWI. Rekening BWI akan dipelihara oleh bank
syariah sebagaimana layaknya rekening-rekening lainnya yang akan mendapatkan
bonus atau bagi hasil sesuai dengan jenis dan prinsip syariah yang digunakan
(giro, wadi’ah, tabungan wadi’ah atau tabungan mudharabah).
Tanggung jawab terhadap wakif,
pengelola dana dan penyaluran dana akan menjadi tanggung jawab BWI. Oleh karena
itu, Badan wakaf-lah yang akan berhubungan dengan Lembaga Penjamin untuk
menjamin dana wakaf agar tidak berkurang pokoknya.
2.
LKS sebagai Penerima Wakaf Uang
Adapun tugas
dari LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) adalah:
a. Mengumumkan
kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang
b. Menyediakan
blanko Sertifikat Wakaf Uang
c. Menerima
secara tunau wakaf uang dari wakif atas nama nazhir
d. Menempatkan
uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nazhir yang ditunjuk
wakif
e. Menerima
pernyataan kehendak wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir
pernyataan kehendak wakif
f. Menerbitkan
Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan
menyerahkan tembusan sertifikat kepada nazhir yang ditunjuk oleh wakif
g. Mendaftarkan
wakaf uang kepada menteri atas nama nazhir
3.
Membentuk lembaga investasi dana
Salah
satu cara pemperdayaan dana wakaf tunai tersebut adalah dengan mekanisme
investasi. Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan
pada instrumen keuangan yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak mengandung
riba. Menurut Direktorat Pemberdayaan wakaf, Lembaga Investasi yang paling
tepat adalah bank Syariah, penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan
akses kepada calon wakif
Karena bank dapat melihat calon wakif yang potensial
dengan mengamati jumlah deposito, tabungan atau mutasi giro yang bersangkutan.
b. Kemampuan
melakukan investasi dana wakaf
Investasi wakafdapat dilakukan dengan berbagai jenis
investasi, yaitu:
1) Investasi
jangka pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai
pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah untuk menyalurkan kredit mikro.
2) Investasi
jangka menengah: yaitu industri/usaha kecil. Dalam hal ini Bank Indonesia telah
terbiasa dengan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP dan KUK.
3) Investasi
jangka panjang: yaitu untuk industri manufaktur, industri besar lainnya. Bank
mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi
pabrik dan perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan sindikasi
dengan bank lain untuk melakukan investasi besar.
c. Kemampuan
melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf
Benefit hasil investasi dana wakaf harus
didistribusikan kepada beneficary. Pendistribusian ini mengacu pada persyaratan
yang diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak
pengelola dana wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal
ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan
tersebut.
d. Mempunyai
kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang
ketat
Bank Syariah memiliki kredibilitas yang tinggi di
masyarakat, selain itu dalam hal regulasi bank syariah merupakan lembaga yang Syariah
high regulated, di mana DSN dan DPS senantiasa memantau.
4.
Menjalin Kemitraan Usaha
Untuk
mendukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf, salah satu
caranya adalah dengan membentuk dan menjalin kerjasama dengan perusahaan modal
ventura. Selain bekerjasama dengan perusahaan modal ventura dalam mengelola dan
mengembangkan dana wakaf, bisa juga bekerja sama dengan:
a. Lembaga
perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya sebagai pihak yang
memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak nazhir
wakaf berbentuk kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan
oleh pihak bank.
b. Lembaga
investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga
ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya
yang tertarik terhadap pengembangan benda wakaf yang dianggap strategis.
c. Investasi
perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk
saham kepemilikikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan
ini bisadilakukan lebih darisatu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai
dengan kadar yang ditanamkan.
d. Lembaga
perbankan internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di
Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).
e. Lembaga
keuangan lainnya dengan sistem pembangunan BOT (Build of Transfer),
f. Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik
dalam atau luar negeri.[8]
D. Distribusi
wakaf
1.
Dalam bidang pendidikan
Dalam
bidang ini dana wakaf berperan dalam meningkatkan peran pesantren, Madrasah
maupun perguruan tinggi di Indonesia. Salah satu caranya adalah melengkapi
sarana dan prasarananya. Disamping itu, dana wakaf juga dipergunakan untuk
pengembangan kurikulum. Karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang
sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan suatu proses pendidikan dan
penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menjawab tantangan masa depan
Indonesia.
Untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, dana wakaf digunakan untuk
pelatihan-pelatihan, pendidikan gratis bagi kaum dhuafa mensubsidi sekolah,
pesantren dan perguruan tinggi dll.
Keberadaan
lembaga riset untuk kepentingan masyarakat banyak merupakan suatu keniscayaan
di tengah kebutuhan respon yang cepat dalam dunia yang serba modern. Lemahnya
kemampuan umat Islam Indonesia dalam menyikapi seluruh problematika yang muncul
dan berdampak negatif bagi mereka karena belum tersedianya lembaga riset
publik. Sedangkan upaya pendirian lembaga-lembaga riset yang memadai tersebut
memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Untuk itu, dana wakaf yang sudah
dikelola bias dijadikan salah satu sumber dana yang sangat potensial dalam
rangka membiayai proyek-proyek pembangunan fisik lembaga-lembaga tersebut.
2.
Dalam bidang kesehatan dan fasilitas RS
Penghasilan
wakaf bukan hanya digunakan untuk menyediakan obat-obat dan menjaga kesehatan
manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan. Dana wakaf juga digunakan untuk
membangun rumah sakit – rumah sakit. Pendidikan medis tidak hanya diberikan oleh
sekolah-sekolah medis saja tetapi juga telah diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti
Universitas Al Azhar di Kairo Mesir yang dibiayai dari dana hasil pengelolaan
asset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di
Istambul Turki dananya berasal dari hasil pengelolaan asset wakaf.
Untuk
itu, agar sektor kesehatan masyarakat lebih mendapatka perhatian lebih serius,
perlu adanya upaya dari semua pihak, khususnya lembaga-lembaga keagamaan yang
memiliki potensi ekonomi cukup tinggi untuk ikut serta berperan dalam persoalan
tersebut. Selain melalui pemberdayaan ZIS, pemberdayaan dana wakaf tunai yang
sudah di kembangkan bias menjadi alternatif yang sangat menjanjikan. Paling
tidak, dengan adanya riil dari dana wakaf tunai, tugas- tugas pemerintah dalam
sector pendidikan dapat terbantu
3.
Dalam Bidang Pelayanan Sosial
Di
Indonesia sarana pelayanan sosialnya masih terkenal sangat kurang. Hal ini
terkait dengan sumber dana dari pemerintah masih sangat sedikit. Oleh karena
itu, dengan adanya dana wakaf tunai diharapkan dapat menunjang hal-hal yang
terkait dengan:
a. Pembangunan
fasilitas umum yang lebih memadai dan manusiawi.
b. Pembangunan
tempat-tempat ibadah dan lembaga keagamaan yang representatif.
4.
Dalam bidang pengembangan usaha kecil dan
menengah (UKM)
Jumlah
UKM di Indonesia saat ini menempati lebih dari 95% pelaku bisnis di Indonesia.
Akan tetapi sector ini cenderung diabaikan. Banyak kelemahan UKM yang masih
belum ditangani dengan baik. Diantaranya, faktor modal dan pengelolaan. Oleh
karenanya dana wakaf juga dialokasikan untuk pengembangan sektor ini.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum, pengelolaan zakat
diupayakan untuk dapat menggunakan fungsi fungsi manajemen modern yang
meliputi; Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengarahan serta
Pengawasan. Perencanaan meliputi; merumuskan rancang bangun organisasi,
perencanaan program kerja yang terdiri dari: penghimpunan (fund raising),
pengelolaan dan pendayagunaan. Sedangkan
pendistribusian zakat adalah mengutamakan
distribusi domestik, dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan
penerima zakat yang berada dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat
(wilayah muzakki) dibandingkan pendistribusiannya untuk wilayah lain.
Untuk
mengelola dana wakaf harus ada sistem yang diterapkan. Paling tidak, ada pola
(standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan sudah dikumpulkan
dapat diberdayakan secara maksimal. Sedangkan dalam pendistribusian wakaf untuk meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia, dana wakaf digunakan untuk pelatihan-pelatihan,
pendidikan gratis bagi kaum dhuafa mensubsidi sekolah, pesantren dan perguruan
tinggi dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Fachruddin. 2008. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Yogyakarta: Sukses Offset.
Mufraini, M.
Arif. 2006. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf. 2007. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta: DEPAG
RI.
Parakkasi, Idris. “Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf .” http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/manajemen-pengelolaan-zakat-infaq.html.
Diakses pada tanggal 18 November 2013.
UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Laela, Dewi Khilyatin. “Teori
Umum Tentang Manajemen Zakat”.http://pondok-darussalam.blogspot.com/2009/07/teori-umum-tentang-manajemen-zakat.html. Diakses tanggal 18 November 2013.
Zakat
Konsumtif dan Produktif” http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/zakat-konsumtif-dan-zakat-produktif.html. Di akses tanggal 18 November 2013.
[1] Idris Parakkasi, “Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf .” http://konsultanekonomi.blogspot.com/2012/05/manajemen-pengelolaan-zakat-infaq.html. Diakses pada tanggal 18 November 2013.
[2]
UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
[3]
Opcit.
[4]
Dewi Laela Khilyatin, “Teori Umum Tentang
Manajemen Zakat”.http://pondok-darussalam.blogspot.com/2009/07/teori-umum-tentang-manajemen-zakat.html. Diakses tanggal 18 November 2013.
[6]
M. Arif Mufraini, Lc,
M.Si., Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2006) h. 138.
[7]
Zakat Konsumtif
dan Produktif” http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/zakat-konsumtif-dan-zakat-produktif.html. Di akses tanggal 18 November 2013.
[8]
Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia (Jakarta: DEPAG RI, 2007)
h. 89-100.
[9]
Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar