Sabtu, 13 September 2014

Rukhshah Dan Azimah serta Syar’i (pembuat hukum & petunjuk tentang adanya hukum)

1.      RUKHSHAH
1.      Pengertian Rukhshah
Rukhsoh secara bahasa artinya اليُسرُ والسُّهولَةُ (mudah; gampang). Sedangkan secara syar’i, para ulama berbeda pendapat. Diantaranya adalah beberapa pendapat dibawah ini:
Al Amidiy (w. 370 H/980 M) mendefinisikan rukhsoh adalah sebagai berikut,
 “Sesuatu yang disyari’atkan dari hukum dikarenakan adanya udzur (halangan) disertai berlakunya sebab-sebab yang dilarang.”
Menurut Al Baidhawi (w. 685 H) rukhsoh itu adalah,
 “Hukum yang tetap di atas dalil yang lainnya disebabkan adanya udzur.
Ismail Muhammad Ali Abdurrahman dalam kitabnya Ibhajul Uqul fi ‘Ilmil Ushul, mendefinisikan rukhsoh sebagai berikut,
 “Apa-apa yang disyari’atkan dikarenakan adanya udzur yang menyebabkan berbedanya dengan hukum yang sebelumnya; bersama adanya sebab-sebab yang dilarang.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh, menyatakan,
 “Suatu nama terhadap sesuatu yang disyari’atkan yang berkaitan dengan sesuatu yang bertentangan dari asalnya yang bersifat sementara disebabkan adanya udzur.”
Jadi, rukhsoh itu adalah suatu istilah hukum yang berkaitan dengan amalan seorang mukallaf, yang berlaku pada saat terpaksa. Sehingga menyebabkan berubahnya hukum asal. Dengan tujuan memberikan keringanan bagi mukallaf itu sendiri dalam keadaan yang terbatas itu.[1]
2.      Hukum  Rukhshah
الحُكْمُ الثِّا بِتُ عَلَى خِلَافِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada kerena adanya uzur.
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.kata-kata “berlauku tetap” mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil  yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “yang menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah. Kata-kata “dalil” yang dimaksud adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib.
Penggunaan kata”udzur” dalam definisi yang mengandung arti kesukaran dan keberatan, untuk menghindarkan dari cakupan arti rukhshah tentang dua hal:
pertama, hukum yang berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang lemah dari hukum itu.
Kedua , taklif atau beban hukum semuanya merupakan hukum yang tetap menyalahi dalil asal yang menurut asalnya tidak ada taklif.[2]

3.      Macam – Macam Rukhshah
Di antara rukhsah itu memperbolehkan apa yang dilarang di waktu darurat (keperluan yang sangat mendesak). Ada orang yang tidak senang mengucapkan kata-kata kafir, maka diperbolahkan kepadanya memakai kata-kata yang menyenangkannya untuk diucapkan dan hatinya tenteram dengannya. Begitu juga ada orang yang tidak senang memperbukakan puasanya pada bulan Ramadhan atau melenyapkan harta bendanya, maka diperbolehkan kepadanya itu yang dilarang, tidak disenanginya itu untuk menyenangkannya. Ada orang yang karena terpaksa tidak tahan lagi menahan lapar dan haus, maka diperbolehkan kepadanya memakan mayat dan minum khamar.[3]
Pada dasarnya rukhshah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukallaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut. Hukum keringanan atau rukhshah dapat dilihat dari beberapa segi:
1)    Rukhshah dilihat dari bentuk segi hukumnya yaitu:
a.       Rukhshah memperbuat
Yaitu keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Contohny memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
b.      Rukhshah meninggalkan
Yaitu keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum azimahnya adalah wajib. Umpamanya membolehkan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalana seperti firman Allah ta’ala:

$YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& t yzé&
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. “ (Al-Baqarah : 184)

2)      Rukhshah ditinjau dalam bentuk keringanan ada tujuh macam
a.       Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban
b.      Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban
c.       Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban
d.      Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban
e.       Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksaan kewajiban
f.       Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban
g.      Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram meninggalkan perbuatan wajib karena udzur.[4]

4.      Hukum Menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan orang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”. Baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh.
Imam Al-Syathabi berpendapat bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau ibahah secara mutlak. Rukhshah itu asalnya dri keringanan atau mengangkat mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan dan pilihan antara menggunakan hukum azimah atau mengambil rukhshah, hal ini berarti mubah.
Disamping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunat, dan mubah dengan menyanggah argumentasi Al-Syathibi, jumhur ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh Al-Syathibi, yaitu:
1.    Kata rukhshah berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan waib atau nadb selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadb itu lebih mudah atau ringan .
2.    Rukhshah dan azimah adalah bentuk pembagian dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut azimah, bil;a menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.[5]

2.      AZIMAH
1.      Pengertian Azimah (العزيمةُ)
Azimah secara bahasa artinya الإرادَةُ المؤكَّدة (kehendak yang mengikat).Ada juga yang mengartiakan الصبر والجد (sabar dan sungguh-sungguh). Sebagian juga mengartikan القصد (bermaksud; memaksa).Sedangkan menurut syar’i, para ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
Imam Al Ghazali (w. 984 H) dalam kitabnya Al Mustashfa fi ‘Ilmil Ushul, mendefinisikannya sebagai berikut,
 “Apa-apa yang tetap bagi hamba dengan ketetapan Allah ta’ala.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh, menyatakan,
 “Suatu nama bagi sesuatu yang pokok dalam hukum yang tidak memiliki kaitan dengan halangan apapun.”
Jadi, azimah itu merupakan hukum pokok (hukum asal) bagi suatu perbuatan mukallaf, yang tidak ada kaitannya dengan ada atau tidaknya halangan pada diri mukallaf itu sendiri.[6]
3.      HUKUM SYARA’
1.      Pengertian Hukum Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntunan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukalaf.
A.Hanafie, dalam buku ushul fiqh, telah menjelaskan pengertian tentang hukum sebagai berikut: “hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas tang lain. Menurut syara’ adalah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa(mukallaf), firman mana yang mengandung tuntunan,membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain[7]
2.      Hukum Taklifi
Apa-apa yang mengandung tuntunan terhadap mukhalaf untuk berbuat atau menahannya dari melakukannya atau memilih antaramelakukan dengan tidak melakukannya.
1)             Tolabu fi’li, yaitu tuntutan untuk mengerjakan;
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' ( al-baqarah 43)

2)             Tolabu kaffi, yaitu tidak berbuat atau menahan;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (an-Nisa 43)

3)             Takhyiir, yaitu kebolehan mengerjakan sesuatu atau tidak berbuat;
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$#
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qasar sembahyangmu. (an-nisa 101)

3.      Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklify terbagi dalam 5 bagian, sebagai berikut:
1)   Ijab : khitab yang berisi tuntutan yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau dilakukan.hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum wujud disebut wajib.
2)   Tahrim : khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Hasil atau bekas dari tahrim disebut muhram dan pekerjaan yang dikenai hukum muhram itu dinamakan muharrum atau haram.
3)   Nadab : khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Bekas nadab disebut uga dangan nadab, sedangkan pekerjaan yanag dikenai hukum nadab disebut mandub
4)   Karahah : khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Bekas karahah disebut juga karahah, sedangkan pekerjaan yang dikenainya dinamakan makruh.
5)   Ibahah : khitab yang berisi kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Hasil ibahah dinamakan ibahah dan pekerjaan yang dikenai ibahah disebut mubah.[8]

4.      PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
1.      Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hukim mempunyai 2 arti, yaitu:
Pertama; “pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua; “yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan.”
Dalm ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i. Dari pengertian pertama tentang hakim adalah Allah SWT. [9]
Sedang sumber-sumber hukum itu terdiri dari:
1)      Al- Qur’an, yang merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
2)      Sunnah Rasul, yang menjelaskan ucapan, perbuatan Nabi sebagai Rasul Allah.
3)      Ijma’, ialah kesepakatan para ulama mujtahid mengenai ketetapan sesuatu ketentuan hukum (ditolak oleh Syi’ah).
4)      Qias, yaitu membanding-bandingkan dan menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam peraturan hukum syara’.
5)      Istihsan, ialah memandang lebih baik, yaitu menentukan hukum bukan di atas Qias yang jelas (dipakai Hanafi).
6)      Uruf, ialah adat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hasits, (dipakai maliki dan Syafi’i).
7)      Maslahah Mursalah, ialah maslahat yang tidak disebutkan dalam hukum. Menurut ulama hukum yang dibuat itu untuk keselamatan umum seperti surat cerrai, memegangi orang yang ingkar membayar zakat dll. (dipakai maliki, ditolak oleh hambali dan Syafi’i)
Menetapkan dengan mempergunakan dan berdasarkan Ijma’, Qias, Istihsan, Uruf, Maslahah Mursalah yang disebutkan di atas, besumber dari ajaran Al- Qur’an. Bahwa Al- Qur’an tidak melarang ada Ijtihad para ulama, karena ayat-ayat Al-Quran itu bersifat Qath’i (positif) tetapi ada pula ayat  Al-Qur’an yang bersifat Zhanni (tidak positif) yang mengandung pengertian lebih dari satu arti.[10]
5.      OBYEK HUKUM (MAHFUM BIH)
1.      Pengertian Mahfum Bih
Menurut Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahfum Fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meningglkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifatbsyarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah ,sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148).
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada obyeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditertapkanlah suatu hukum. Misalnya; contoh firman Allah :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
dan dirikanlah shalat,,, (al-baqarah 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakanshalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ ….
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…. (al-an’am 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.[11]



2.      Syarat – Syarat Mahfum Bih
Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai obyek hukum, yaitu:
1)      Perbuatan itu syah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2)      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3)      Perbuatan itu suatu yang mungkin dilakukan oleh oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.[12]

3.      Macam – Macam Mahfum Bih
Dari segi  keberadaannya secara material dan syara’:
1)      Perbuatan yang secara material ada tetapi tidak temasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
2)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebeb adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian.
3)      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan:
1)      Semata –mata hak Allah yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa terkecuali.
2)      Hak hamba yang terkait dengan kepribadian seseorang.
3)      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan.
4)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan.[13]

6.      OBYEK HUKUM (MAHFUM ALAIH)

1.       Pengertian Mahfum Alaih
Ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa mahfum alaih adalah seorang yang perbuatannya dikenai khitab Alla, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahfum alaih. Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.[14]

2.      Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman dengan kata lain, seseorang baru bisa  dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.

Syarat- Syarat Taklif
1.)    Orang itu telah mampu memahami khitab syar’i atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun melalui orang lain.
2.)    seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut sebagai ahliyah.[15]

3.      Ahliyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani  suatu urusan”. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu :
a)      ahliyyah ada’
                Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

b)                      ahliyyah al-wajib
                Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Halangan Ahliyyah
                Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya.
Berdasarkan inilah, ulama ushl fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut :
a.              Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disbabkan perbuatan manusia,
b.              Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.[16]



DAFTAR PUSTAKA

Bakri, Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakata:PT Logos Wacana Ilmu. 1997
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Bineka Cipta. 1999
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 1999
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012



[1]  http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012

[2] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 322-323
[3] Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999, hlm.146
[4] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, opcit, 324-327
[5] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ibid, 329-331
[6] http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012
[7] Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm. 137
[8] [8] Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999, hlm.. 142-144
[9] Rachmat Syafe’I, ilmu ushul fiqh, bandung; cv pustaka setia, 1999, Hlm 345
[10] Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm. 140
[11] DR. Rachmat Syafe’I,opcit, hlm. 317-318
[12] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 351
[13] DR. Rachmat Syafe’I, opcit, hlm. 331-333
[14]ibid, hlm. 334
[15] Ibid, hlm.335-336
[16] Ibid, hlm. 339-340

Tidak ada komentar:

Posting Komentar