1. RUKHSHAH
1.
Pengertian
Rukhshah
Rukhsoh secara bahasa artinya اليُسرُ والسُّهولَةُ (mudah; gampang). Sedangkan secara syar’i,
para ulama berbeda pendapat. Diantaranya adalah beberapa pendapat dibawah ini:
Al Amidiy (w. 370 H/980 M) mendefinisikan rukhsoh adalah
sebagai berikut,
“Sesuatu yang disyari’atkan
dari hukum dikarenakan adanya udzur (halangan) disertai berlakunya
sebab-sebab yang dilarang.”
Menurut Al Baidhawi (w. 685 H) rukhsoh itu adalah,
“Hukum yang tetap di atas
dalil yang lainnya disebabkan adanya udzur.”
Ismail Muhammad Ali Abdurrahman dalam kitabnya Ibhajul Uqul fi
‘Ilmil Ushul, mendefinisikan rukhsoh sebagai berikut,
“Apa-apa yang disyari’atkan
dikarenakan adanya udzur yang menyebabkan berbedanya dengan hukum yang
sebelumnya; bersama adanya sebab-sebab yang dilarang.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh,
menyatakan,
“Suatu nama terhadap sesuatu
yang disyari’atkan yang berkaitan dengan sesuatu yang bertentangan dari asalnya
yang bersifat sementara disebabkan adanya udzur.”
Jadi, rukhsoh itu adalah suatu istilah hukum yang berkaitan
dengan amalan seorang mukallaf, yang berlaku pada saat terpaksa.
Sehingga menyebabkan berubahnya hukum asal. Dengan tujuan memberikan keringanan
bagi mukallaf itu sendiri dalam keadaan yang terbatas itu.[1]
2.
Hukum Rukhshah
الحُكْمُ الثِّا بِتُ عَلَى خِلَافِ الدَّلِيْلِ
لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku
berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada kerena adanya uzur.
Kata-kata “hukum”
merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.kata-kata
“berlauku tetap” mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil
yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “yang
menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang
mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah. Kata-kata “dalil” yang dimaksud
adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk
melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib.
Penggunaan kata”udzur”
dalam definisi yang mengandung arti kesukaran dan keberatan, untuk
menghindarkan dari cakupan arti rukhshah tentang dua hal:
pertama, hukum yang
berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang
lemah dari hukum itu.
Kedua , taklif atau
beban hukum semuanya merupakan hukum yang tetap menyalahi dalil asal yang
menurut asalnya tidak ada taklif.[2]
3.
Macam
– Macam Rukhshah
Di
antara rukhsah itu memperbolehkan apa yang dilarang di waktu darurat (keperluan
yang sangat mendesak). Ada orang yang tidak senang mengucapkan kata-kata kafir,
maka diperbolahkan kepadanya memakai kata-kata yang menyenangkannya untuk
diucapkan dan hatinya tenteram dengannya. Begitu juga ada orang yang tidak
senang memperbukakan puasanya pada bulan Ramadhan atau melenyapkan harta
bendanya, maka diperbolehkan kepadanya itu yang dilarang, tidak disenanginya
itu untuk menyenangkannya. Ada orang yang karena terpaksa tidak tahan lagi
menahan lapar dan haus, maka diperbolehkan kepadanya memakan mayat dan minum
khamar.[3]
Pada dasarnya rukhshah
itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada
mukallaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut.
Hukum keringanan atau rukhshah dapat dilihat dari beberapa segi:
1)
Rukhshah dilihat dari bentuk segi
hukumnya yaitu:
a. Rukhshah
memperbuat
Yaitu keringanan untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Contohny memakan daging babi
dalam keadaan terpaksa.
b. Rukhshah
meninggalkan
Yaitu keringanan untuk meninggalkan
perbuatan yang menurut hukum azimahnya adalah wajib. Umpamanya membolehkan
meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalana seperti
firman Allah ta’ala:
$YB$r&
;Nºyrß÷è¨B 4 `yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr&
4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r&
t yzé&
beberapa
hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. “ (Al-Baqarah : 184)
2) Rukhshah
ditinjau dalam bentuk keringanan ada tujuh macam
a. Keringanan
dalam bentuk menggugurkan kewajiban
b. Keringanan
dalam bentuk mengurangi kewajiban
c. Keringanan
dalam bentuk mengganti kewajiban
d. Keringanan
dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban
e. Keringanan
dalam bentuk mendahulukan pelaksaan kewajiban
f. Keringanan
dalam bentuk mengubah kewajiban
g. Keringanan
dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram meninggalkan perbuatan
wajib karena udzur.[4]
4. Hukum
Menggunakan Rukhshah
Pada
dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan orang mukallaf dari melakukan tuntutan
hukum ‘azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”. Baik
dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang
disuruh.
Imam
Al-Syathabi berpendapat bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau ibahah secara
mutlak. Rukhshah itu asalnya dri keringanan atau mengangkat mengangkat
kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan dan pilihan antara menggunakan
hukum azimah atau mengambil rukhshah, hal ini berarti mubah.
Disamping membagi hukum
rukhshah itu kepada wajib, sunat, dan mubah dengan menyanggah argumentasi
Al-Syathibi, jumhur ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu
adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh
Al-Syathibi, yaitu:
1.
Kata
rukhshah berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan
dengan waib atau nadb selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadb
itu lebih mudah atau ringan .
2. Rukhshah dan azimah adalah bentuk pembagian dari hukum
syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau
tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut azimah,
bil;a menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.[5]
2.
AZIMAH
1. Pengertian
Azimah (العزيمةُ)
Azimah secara bahasa artinya الإرادَةُ المؤكَّدة (kehendak yang mengikat).Ada juga yang
mengartiakan الصبر والجد (sabar dan sungguh-sungguh). Sebagian juga mengartikan القصد (bermaksud;
memaksa).Sedangkan menurut syar’i, para ulama mendefinisikannya
sebagai berikut:
Imam Al Ghazali (w. 984 H) dalam kitabnya Al Mustashfa fi ‘Ilmil
Ushul, mendefinisikannya sebagai berikut,
“Apa-apa yang tetap bagi
hamba dengan ketetapan Allah ta’ala.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh,
menyatakan,
“Suatu nama bagi sesuatu yang
pokok dalam hukum yang tidak memiliki kaitan dengan halangan apapun.”
Jadi, azimah itu merupakan hukum pokok
(hukum asal) bagi suatu perbuatan mukallaf, yang tidak ada kaitannya
dengan ada atau tidaknya halangan pada diri mukallaf itu sendiri.[6]
3.
HUKUM SYARA’
1. Pengertian
Hukum Syara’
Pengertian hukum
menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum
menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntunan dari Allah yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukalaf.
A.Hanafie, dalam buku ushul
fiqh, telah menjelaskan pengertian tentang hukum sebagai berikut: “hukum
menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas tang lain. Menurut syara’ adalah
firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang
dewasa(mukallaf), firman mana yang mengandung tuntunan,membolehkan sesuatu atau
menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain[7]
2. Hukum
Taklifi
Apa-apa yang mengandung tuntunan terhadap mukhalaf untuk
berbuat atau menahannya dari melakukannya atau memilih antaramelakukan dengan
tidak melakukannya.
1)
Tolabu fi’li, yaitu tuntutan untuk
mengerjakan;
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' ( al-baqarah 43)
2)
Tolabu kaffi, yaitu tidak berbuat atau
menahan;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (an-Nisa 43)
3)
Takhyiir, yaitu kebolehan mengerjakan
sesuatu atau tidak berbuat;
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$#
Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qasar sembahyangmu.
(an-nisa 101)
3. Pembagian
Hukum Taklifi
Hukum
taklify terbagi dalam 5 bagian, sebagai berikut:
1) Ijab
: khitab yang berisi tuntutan yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau
dilakukan.hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum
wujud disebut wajib.
2) Tahrim
: khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Hasil atau bekas dari
tahrim disebut muhram dan pekerjaan yang dikenai hukum muhram itu dinamakan
muharrum atau haram.
3) Nadab
: khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Bekas nadab disebut
uga dangan nadab, sedangkan pekerjaan yanag dikenai hukum nadab disebut mandub
4) Karahah
: khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Bekas karahah disebut
juga karahah, sedangkan pekerjaan yang dikenainya dinamakan makruh.
5) Ibahah
: khitab yang berisi kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Hasil
ibahah dinamakan ibahah dan pekerjaan yang dikenai ibahah disebut mubah.[8]
4. PEMBUAT
HUKUM (HAKIM)
1.
Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hukim
mempunyai 2 arti, yaitu:
Pertama; “pembuat hukum, yang
menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua; “yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan dan menyingkapkan.”
Dalm ilmu ushul fiqih,
hakim juga disebut dengan syar’i. Dari pengertian pertama tentang hakim adalah
Allah SWT. [9]
Sedang sumber-sumber
hukum itu terdiri dari:
1) Al-
Qur’an, yang merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril.
2) Sunnah
Rasul, yang menjelaskan ucapan, perbuatan Nabi sebagai Rasul Allah.
3) Ijma’,
ialah kesepakatan para ulama mujtahid mengenai ketetapan sesuatu ketentuan
hukum (ditolak oleh Syi’ah).
4) Qias,
yaitu membanding-bandingkan dan menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada
ketentuannya dalam peraturan hukum syara’.
5) Istihsan,
ialah memandang lebih baik, yaitu menentukan hukum bukan di atas Qias yang
jelas (dipakai Hanafi).
6) Uruf,
ialah adat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hasits, (dipakai maliki
dan Syafi’i).
7) Maslahah
Mursalah, ialah maslahat yang tidak disebutkan dalam hukum. Menurut ulama hukum
yang dibuat itu untuk keselamatan umum seperti surat cerrai, memegangi orang
yang ingkar membayar zakat dll. (dipakai maliki, ditolak oleh hambali dan
Syafi’i)
Menetapkan dengan mempergunakan dan berdasarkan
Ijma’, Qias, Istihsan, Uruf, Maslahah Mursalah yang disebutkan di atas,
besumber dari ajaran Al- Qur’an. Bahwa Al- Qur’an tidak melarang ada Ijtihad
para ulama, karena ayat-ayat Al-Quran itu bersifat Qath’i (positif) tetapi ada
pula ayat Al-Qur’an yang bersifat Zhanni
(tidak positif) yang mengandung pengertian lebih dari satu arti.[10]
5. OBYEK HUKUM (MAHFUM BIH)
1.
Pengertian
Mahfum Bih
Menurut Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahfum Fih adalah obyek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I,
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meningglkan; memilih suatu
pekerjaan; dan yang bersifatbsyarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah ,sah
serta batal (Al-Bardisi: II: 148).
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada obyeknya,
yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditertapkanlah
suatu hukum. Misalnya; contoh firman Allah :
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
dan dirikanlah shalat,,, (al-baqarah 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk
mengerjakanshalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
wur (#qè=çGø)s? [øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ ….
janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar…. (al-an’am
151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan
mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa
haq itu hukumnya haram.[11]
2.
Syarat
– Syarat Mahfum Bih
Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan
sebagai obyek hukum, yaitu:
1)
Perbuatan
itu syah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2)
Perbuatan
itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3)
Perbuatan
itu suatu yang mungkin dilakukan oleh oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.[12]
3.
Macam
– Macam Mahfum Bih
Dari segi keberadaannya secara
material dan syara’:
1)
Perbuatan
yang secara material ada tetapi tidak temasuk perbuatan yang terkait dengan
syara’, seperti makan dan minum.
2)
Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebeb adanya hukum syara’, seperti
perzinahan, pencurian.
3)
Perbuatan
yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun
dan syarat yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan:
1)
Semata
–mata hak Allah yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa terkecuali.
2)
Hak
hamba yang terkait dengan kepribadian seseorang.
3)
Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan.
4)
Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan.[13]
6.
OBYEK
HUKUM (MAHFUM ALAIH)
1.
Pengertian Mahfum Alaih
Ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa mahfum alaih
adalah seorang yang perbuatannya dikenai khitab Alla, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga
mahfum alaih. Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan
hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia
maupun di akhirat.[14]
2.
Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka
yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama
ushul fiqh berpendapat dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal
dan pemahaman dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Syarat- Syarat Taklif
1.)
Orang
itu telah mampu memahami khitab syar’i atau tuntutan syara’ yang terkandung
dalam Al-Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun melalui orang lain.
2.)
seseorang
harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut sebagai ahliyah.[15]
3.
Ahliyah
Secara harfiyah (etimologi),
ahliyyah berarti kecakapan menangani
suatu urusan”. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu
bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Menurut para ulama ushul fiqih,
ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu :
a)
ahliyyah
ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak
hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
b)
ahliyyah al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang
untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani
seluruh kewajiban.
Halangan
Ahliyyah
Sebagaimana
telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam
bertindak hukum dilihat dari segi akalnya.
Berdasarkan inilah,
ulama ushl fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa
berubah disebabkan hal-hal berikut :
a.
Awaridh
as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disbabkan perbuatan
manusia,
b.
Awaridh
al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Bakri,
Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh. Jakata:PT Logos Wacana Ilmu. 1997
Khallaf,
Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Bineka Cipta. 1999
Syafe’i,
Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 1999
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/
10 April 2012
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/
10 April 2012
[1] http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/
10 April 2012
[2] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul
fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 322-323
[3]
Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999,
hlm.146
[5] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ibid,
329-331
[6] http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/
10 April 2012
[7]
Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm.
137
[8] [8]
Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999, hlm..
142-144
[9] Rachmat Syafe’I, ilmu ushul fiqh,
bandung; cv pustaka setia, 1999, Hlm 345
[10]
Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm.
140
[12] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul
fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 351
[13] DR. Rachmat Syafe’I, opcit, hlm.
331-333
[15] Ibid,
hlm.335-336
[16] Ibid,
hlm. 339-340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar