Sabtu, 13 September 2014

Dasar-dasar Perilaku Individu

BAB I
PENDAHULUAN

Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Ditilik dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia itu disebabkan karena kemampuan, kebutuhan, cara berpikir untuk menentukan pilihan perilaku, pengalaman, dan reaksi affektifnya berbeda satu sama lain.
Perilaku manusia adalah suatu fungsi dan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Individu membawa kedalam tatanan organisasi, kemampuan, kepercayaan, pribadi, penghargaan kebutuhan dan pengalaman masa lalunya.
Organisasi yang juga merupakan suatu lingkungan bagi individu mempunyai karaktristik yang dimiliki organisasi. Antara peraturan yang yang di wujudkan dalam susunan hirarki pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang, dan tanggungjawab, sistem penagihan (reaward sistem), sistem pengendalian dan sebagainya. Jikalau karakteristik orarganisasi maka akan terwujyud peerilaku individu dalam organisasi.
Intelegensi adalah salah satu karakteristik yang dibawa serta orang ketika mereka bergabung dalam suatu organisasi. Dalam bagian ini akan dilihat bagaimana karakteristik biografis (seperti gender dan usia) dan kemampuan (yang mencakup intelegensi) mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan. Selanjutnya juga akan dibahas bagaimana orang mempelajari perilaku dan apa yang dapat dilakukan manajemen untuk membentuk perilaku-perilaku ini.



BAB II
PEMBAHASAN

Dasar-dasar Perilaku Individu
1.        Karakteristik Biografis
Karakteristik Biografis adalah karakteristik pribadi –seperti misalnya umur, jenis kelamin, dan status kawin– yang objektif dan mudah diperoleh dari rekaman pribadi.
  1. Usia
Hubungan  antara usia dan kinerja merupakan isu yang penting. Hal ini dikarenakan  adanya keyakinan bahwa kinerja akan merosot dengan meningkatnya usia. Pengaruh usia terhadap kinerja dapat dilihat pada pergantian karyawan, kemangkiran, produktifitas, dan kepuasan.
Semakin tua semakin kecil kemungkinan untuk berhenti dari pekerjaan. Itulah kesimpulan yang seringkali ditarik berdasarkan studi mengenai hubungan antara usia dengan pergantian karyawan. Kesimpulan ini tidak terlalu mengherankan karena dengan makin tua nya para pekerja, makin sedikit kesempatan pekerjaan alternative mereka disamping itu pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan kepada mereka tingkat upah yang lebih tinggi, liburan berupah yang lebih panjang dan tunjangan pensiun yang lebih menarik.
Usia juga memiliki hubungan dengan kemangkiran karyawan.  Umumnya karyawan yang berusia tua mempunyai tingkat absensi yang dapat dihindari yang lebih rendah daripada karyawan usia muda. Tetapi, mereka mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari absensi yang tak terhindari. Hal ini disebabkan oleh kesehatan yang lebih buruk yang dikaitkan dengan penuaan dan kurun waktu pemulihan yang lebih panjang yang diperlukan pekerja tua bila cidera.
Selanjutnya pengaruh usia terhadap prduktifitas adalah adanya keyakinan bahwa produktifitas akan merosot dengan makin tuanya seseorang.
Dan terakhir adalah hubungan antara usia dan kepuasan kerja. Berbagai studi menyatakan bahwa kepuasan cenderung terus menerus meningkat diantara para professional dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan diantara non professional kepuasan itu merosot selama usia setengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun tahun yang lebih belakangan.
  1. Jenis Kelamin
Pada bagian ini akan dibahas isu-isu mengenai apakah kinerja wanita sama dengan pria pada pekerjaan-pekerjaan. Studi-studi psikologis telah menjumpai bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi otoritas, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinan daripada wanita dalam memiliki pengharapan ( eksektasi ) sukses. Dalam hal absensi dan tingkat pergantian juga dijumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar  dan tingkat absensi yang lebih tinggi daripada pria. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab rumah tangga dan keluarga pada wanita.
  1. Status Kawin
Berdasarkan riset yang konsisten menunjukan bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, mengalami pergantian yang lebih rendah dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan sekerjanya yang bujangan.
Perkawinan memaksakan tanggung jawab yang meningkat yang dapat membuat suatu pekerjaan yang tetap ( steady ) lebih berharga dan penting.  Karyawan yang tekun dan luas lebih besar kemungkinannya adalah karyawan yang menikah.


  1. Banyaknya Tanggungan
Bukti yang kuat menyatakan bahwa banyaknya anak yang dipunyai oleh seorang karyawan mempunyai korelasi yang positif dengan absensi, terutama diantara wanita.
  1. Masa Kerja
Karakteristik biografis yang terakhir adalah masa kerja. Telah dilakukan tinjauan ulang yang meluas terhadap hubungan senioritas – produktifitas. Tidak ada alasan untuk meyakini bahwa orang-orang yang telah lebih lama berada pada suatu pekerjaan akan lebih produktif ketimbang mereka yang senioritasnya rendah. Namun masa kerja berhubungan langsung dengan absensi dan pergantian. Secara konsisten studi-studi memperagakan bahwa senioritas berkaitan secara negatif terhadap kemangkiran. Masa kerja juga berhubungan negatif dengan pergantian karyawan dan berhubungan positif dengan kepuasan kerja.
2.        Kemampuan
Adalah kapasitas seorang indibidu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Kemampuan-kemampuan keselurahan dari seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor: kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
·      Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental.  Uji  IQ , misalnya, dirancang untuk memastikan kemampuan-kemampuan intelektual umum seseorang. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang menyusun kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman, (comprehension) verbal, kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan (memori).
Pekerjaan berbeda-beda dalam tuntutannya bagi pemangku pekerjaan itu untuk menggunakan kemampuan intelektual mereka. berbicara secara umum, makin banyak tuntutan pemrosesan informasi dalam suatu pekerjaan, makin banyak pekerjaan umum dan kemampuan verbal diperlukan untuk dapat melakukan pekerjaan itu dengan sukses.
Suatu tinjauan ulang yang seksama terhadap bukti memperlihatkan bahwa tes-tes yang menilai kemampuan verbal, numeris, ruang, dan perseptual merupakan peramal yang valid terhadap kemampuan pekerjaan pada semua tingkat pekerjaan. Jadi, tes yang mengukur dimensi kecerdasan yang khusus merupakan peramal yang kuat dari kinerja.
·                Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan ketrampilan serupa. Misalnya, pekerjaan yang keberhasilannya menuntut stamina, kecekatan tangan, kekuatan tungkai atau bakat-bakat serupa menuntut manajemen untuk mengenali kapabilitas fisik seorang karyawan.
·       Kesesuaian Pekerjaan – Kemampuan
Kemampuan intelektual atau fisik khusus yang diperlukan untuk kinerja yang memadai pada suatu pekerjaan, bergantung pada persyaratan kemampuan yang diminta dari pekerjaan itu. Misalnya, pilot pesawat terbang memerlukan kemampuan visualisasi ruang yang kuat; penjaga keselamatan pantai memerlukan visualisasi ruang yang kuat maupun koordinasi tubuh.
Jika para karyawan kekurangan kemampuan yang disyaratkan, kemungkinan besar mereka akan gagal.
Jika kesesuaian pekerjaan-kemampuan tidak sesuai karena karyawan itu mempunyai kemampuan yang jauh melampaui persyaratan dari pekerjaan itu kemungkinan besar kinerja akan memadai tetapi akan ada ketidak efisienan organisasional dan mungkin kemerosotan dalam kepuasan karyawan.

3.      Pembelajaran
a.                 Definisi pembelajaran
Pembelajaran adalah setiap perubahan yang relative permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman. Dari definisi tersebut terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan:
·           Belajar melibatkan perubahan
Dari titik pandang organisasi perubahan ini bisa baik atau buruk. Orang dapat belajar perilaku-perilaku yang tidak menguntungkan (seperti: memendam prasangka) maupun perilaku yang menguntungkan.
·           Perubahan itu harus relative permanen
Perubahan sementara mungkin hanya bersifat refleksif dan gagal dalam mewakili pembelajaran apapun. Persyaratan ini mengenyampingkan perubahan perilaku yang disebabkan oleh kelelahan atau penyesuaian sementara.
·           Definisi mengenai perilaku
Belajar berlangsung dimana ada suatu perubahan tindakan. Suatu perubahan proses berpikir atau sikap seorang individu, jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku maka bukan merupakan pembelajaran.
b.        Teori Pembelajaran
·           Pengkondisian Klasik
Yaitu suatu tipe pengkondisian dimana seorang individu menanggapi beberapa rangsangan yang tidak akan selalu menghasilkan respon yang sama. Pengkondisian klasik bersifat pasif, sesuatu terjadi dan kita bereaksi dengan cara yang khusus. Hal itu dihasilkan sebagai respon terhadap peristiwa khusus yang dapat dikenali.
Demikian itu dapat menjelaskan perilaku refleksif yang sederhana. Tetapi kebanyakan perilaku terutama perilaku rumit individu dalam organisasi dipancarkan bukan diperoleh (bersifat sukarela bukan refleks). Misalnya, para karyawan memilih sampai ditempat kerja pada waktunya karena atasan, meminta bantuan atasan ketika ada masalah, atau membuang waktu bila tidak ada orang yang mengamati.
·           Pengkondisian Operan
Yaitu suatu tipe pengkondisian dimana perilaku sukarela yang diinginkan menyebabkan suatu penghargaan atau mencegah suatu hukuman. Pengkondisian operan beragumen bahwa perilaku merupakan suatu fungsi dari konsekuensi-konsekuensi. Perilaku ditentukan dari luar (dipelajari) bukannya dari dalam (refleksif atau tidak dipelajari). Orang belajar berperilaku untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.
Menurut skinner, dengan menciptakan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti ragam perilaku khusus, maka frekuensi dari perilaku tersebut akan meningkat. Kebanyakan orang akan menunjukkan suatu perilaku yang diinginkan jika mereka diperkuat secara positif untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, pemberian penghargaan untuk perilaku yang diingikan dan hukuman untuk perilaku yang tidak diinginkan.
Setiap situasi yang dinyatakan secara eksplisit atau disarankan secara implisit bahwa penguatan yang bersifat bergantung terhadap suatu tindakan, menggunakan pembelajaran operan. Misalnya, seorang salesman yang ingin memperoleh penghasilan dari komisi yang cukup besar mengetahui bahwa penghasilan itu bergantung pada penjualan yang tinggi dalam teritorinya.
·           Pembelajaran Sosial
Yaitu pandangan bahwa kita dapat belajar melalui pengamatan maupun pengalaman langsung. Teori pembelajaran sosial merupakan perpanjangan dari pengkondisian operan, yaitu teori yang mengandaikan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensi, observasional dan pentingnya persepsi dalam belajar.
Pengaruh model (orang tua, guru, teman sekerja, artis, atasan) menjadi titik pandang sentral dalam pembelajaran sosial. Terdapat empat proses untuk menentukan pengaruh suatu model pada seorang individu,  antara lain:
1.    Proses perhatian (attensional Procces)
Orang hanya belajar dari seorang model bila mereka mengenali dan menaruh perhatian pada perwajahannya yang menentukan. Kita sangat cenderung dipengaruhi oleh model-model yang menarik, berulang-ulang ada, penting bagi kita atau serupa dengan kita dalam perkiraan kita.
2.    Proses penahanan (retention procces)
Pengaruh suatu odel akan bergantung pada betapa baik individu mengingat tindakan model itu setelah model itu tidak ada lagi.
3.    Proses reproduksi motorik (motoric reproduction procces)
Setelah seseorang melihat suatu perilaku baru dengan mengamati model itu, pengalaman itu harus diubah menjadi perbuatan. Maka proses ini memperagakan bahwa individu tersebut dapat melakukan kegiatan model ini.
4.    Proses penguatan (reinforcement procces)
Setiap individu akan dimotivasi untuk memperlihatkan perilaku bermodel jika disediakan rangsangan positif (ganjaran). Perilaku-perilaku yang diperkuat akan lebih banyak mendapat perhatian, dipelajari dengan lebih baik, dan dilakukan dengan lebih sering.





Pembentukan: Suatu Alat Manajerial
Belajar berlangsung pada saat bekerja maupun sebelumnya, oleh karena itu para manajer peduli mengenai bagaimana mereka dapat mengajari para karyawan untuk berperilaku dalam cara-cara yang paling memberi manfaat kepada organisasi. Ketika kita mencoba untuk mencetak individu dengan memandu pembelajaran mereka dengan langkah-langkah bertahap, kita sedang melakukan pembentukan kepribadian (shaping behavior).
·      Metode-metode pembentukan perilaku
Ada empat cara dalam pembentukan perilaku, antra lain;
-         Melalui penguatan positif, yaitu bila suatu respon diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan. Misalnya: peberian pujian atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik.
-         Penguatan negatif, yaitu bila suatu respon diikuti oleh dihentikannya atau ditarik kembalinya sesuatu yang tidak menyenangkan.
-         Hukuman, Penghukuman akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak enak dalam suatu usaha untuk menyingkirkan suatu perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya: memberikan skors bagi pegawai yag bekerja dalam kondisi mabuk.
-         Pemunahan (Extinction), yaitu menyingkirkan penguatan apa saja yang memperlihatkan suatu perilaku. Bila suatu perilaku tidak diperkuat, maka lambat laun perilaku tersebut akan punah.
Dampak penguatan pada perilaku dalam organisasi, antara lain;
-         Beberapa tipe penguatan diperlukan untuk menghasilkan suatu perubahan perilaku,
-         Beberapa tipe ganjaran akan lebih efektif diguakan dalam organisasi dari pada dengan cara lain.
-         Kecepatan berlangsungnya proses belajar dan dampaknya yang permanen akan ditentukan oleh waktu (timing) dari penguatan.
·      Jadwal penguatan
Ada dua tipe jadwal penguatan yaitu
1.    Berkesinambungan (kontinu)
Suatu jadwal berkesinambungan memperkuat perilaku yang diinginkan tiap kali perilaku itu diperlihatkan.
2.    Terputus-putus (intermitten)
Suatu perilaku yang diinginkan diperkuat cukup sering untuk membuat perilaku itu berharga untuk diulang, tetapi tidak diperkuat tiap kali perilaku tersebut diperagakan. Jadwal rasio tergantung pada berapa banyak respons yang dibuat oleh subjek. Jadwal interfal tergantung pada berapa lama waktu telah berselang sejak penguatan yang terakhir.
Jadwal penguatan dibagi menjadi empat yaitu:
1.    Jadwal interval pasti (fixed interval), yaitu ganjaran-ganjaran yang didistribusikan pada selang waktu yang seragam.
2.    Jadwal interval variabel (variable interval), yaitu ganjara-ganjaran didistribusikan menurut waktu sedemikian sehingga penguatan-penguatan itu dapat diramalkan.
3.    Jadwal rasio pasti (fixed ration), yaitu ganjaran diberikan setelah sejumlah respons yang jumlahnya pasti atau konstan.
4.    Jadwal rasio variabel, yaitu ganjaran beraneka sehubungan dengan perilaku individu.
·      Jadwal penguatan dan perilaku
Jadwal penguatan berkesinambungan dapat menghantar ke kejenuhan dini, dan dibawah jadwal ini perilaku cenderung melemah dengan cepat ketika pemerkuat tidak diberikan.
·      Modifikasi Perilaku Organisasi
Yaitu penerpan konsep penguatan pada individu dalam mengatur pekerjaan. Program OB Mod biasanya mengikuti model pemecahan masalah lima langkah :
1.    Mengidentifikasi perilaku perilaku penting
2.    Mengembangkan data baseline
3.    Mengidentifikasi konsekuensi perilaku
4.    Mengembangkan dan mengimplementasikan suatu strategi interfensi
5.    Mengevaluasi perbaikan kinerja















BAB III
PENUTUP

Terdapat tiga variabel individu yaitu:
1.                  Karakteristik biografis, adalah karakteristik pribadi yang objektif dan mudah diperoleh dari catatan pribadi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, status kawin, banyaknya tanggungan, dan masa kerja.
2.                  Kemampuan, adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan terdiri dari kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.

3.                  Pembelajaran, yaitu setiap perubahan yang relative permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman.

Rukhshah Dan Azimah serta Syar’i (pembuat hukum & petunjuk tentang adanya hukum)

1.      RUKHSHAH
1.      Pengertian Rukhshah
Rukhsoh secara bahasa artinya اليُسرُ والسُّهولَةُ (mudah; gampang). Sedangkan secara syar’i, para ulama berbeda pendapat. Diantaranya adalah beberapa pendapat dibawah ini:
Al Amidiy (w. 370 H/980 M) mendefinisikan rukhsoh adalah sebagai berikut,
 “Sesuatu yang disyari’atkan dari hukum dikarenakan adanya udzur (halangan) disertai berlakunya sebab-sebab yang dilarang.”
Menurut Al Baidhawi (w. 685 H) rukhsoh itu adalah,
 “Hukum yang tetap di atas dalil yang lainnya disebabkan adanya udzur.
Ismail Muhammad Ali Abdurrahman dalam kitabnya Ibhajul Uqul fi ‘Ilmil Ushul, mendefinisikan rukhsoh sebagai berikut,
 “Apa-apa yang disyari’atkan dikarenakan adanya udzur yang menyebabkan berbedanya dengan hukum yang sebelumnya; bersama adanya sebab-sebab yang dilarang.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh, menyatakan,
 “Suatu nama terhadap sesuatu yang disyari’atkan yang berkaitan dengan sesuatu yang bertentangan dari asalnya yang bersifat sementara disebabkan adanya udzur.”
Jadi, rukhsoh itu adalah suatu istilah hukum yang berkaitan dengan amalan seorang mukallaf, yang berlaku pada saat terpaksa. Sehingga menyebabkan berubahnya hukum asal. Dengan tujuan memberikan keringanan bagi mukallaf itu sendiri dalam keadaan yang terbatas itu.[1]
2.      Hukum  Rukhshah
الحُكْمُ الثِّا بِتُ عَلَى خِلَافِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada kerena adanya uzur.
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.kata-kata “berlauku tetap” mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil  yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “yang menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah. Kata-kata “dalil” yang dimaksud adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib.
Penggunaan kata”udzur” dalam definisi yang mengandung arti kesukaran dan keberatan, untuk menghindarkan dari cakupan arti rukhshah tentang dua hal:
pertama, hukum yang berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang lemah dari hukum itu.
Kedua , taklif atau beban hukum semuanya merupakan hukum yang tetap menyalahi dalil asal yang menurut asalnya tidak ada taklif.[2]

3.      Macam – Macam Rukhshah
Di antara rukhsah itu memperbolehkan apa yang dilarang di waktu darurat (keperluan yang sangat mendesak). Ada orang yang tidak senang mengucapkan kata-kata kafir, maka diperbolahkan kepadanya memakai kata-kata yang menyenangkannya untuk diucapkan dan hatinya tenteram dengannya. Begitu juga ada orang yang tidak senang memperbukakan puasanya pada bulan Ramadhan atau melenyapkan harta bendanya, maka diperbolehkan kepadanya itu yang dilarang, tidak disenanginya itu untuk menyenangkannya. Ada orang yang karena terpaksa tidak tahan lagi menahan lapar dan haus, maka diperbolehkan kepadanya memakan mayat dan minum khamar.[3]
Pada dasarnya rukhshah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukallaf dalam suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut. Hukum keringanan atau rukhshah dapat dilihat dari beberapa segi:
1)    Rukhshah dilihat dari bentuk segi hukumnya yaitu:
a.       Rukhshah memperbuat
Yaitu keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Contohny memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
b.      Rukhshah meninggalkan
Yaitu keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum azimahnya adalah wajib. Umpamanya membolehkan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalana seperti firman Allah ta’ala:

$YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& t yzé&
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. “ (Al-Baqarah : 184)

2)      Rukhshah ditinjau dalam bentuk keringanan ada tujuh macam
a.       Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban
b.      Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban
c.       Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban
d.      Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban
e.       Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksaan kewajiban
f.       Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban
g.      Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram meninggalkan perbuatan wajib karena udzur.[4]

4.      Hukum Menggunakan Rukhshah
Pada dasarnya rukhshah itu adalah pembebasan orang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum ‘azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”. Baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh.
Imam Al-Syathabi berpendapat bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau ibahah secara mutlak. Rukhshah itu asalnya dri keringanan atau mengangkat mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan dan pilihan antara menggunakan hukum azimah atau mengambil rukhshah, hal ini berarti mubah.
Disamping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunat, dan mubah dengan menyanggah argumentasi Al-Syathibi, jumhur ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh Al-Syathibi, yaitu:
1.    Kata rukhshah berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan waib atau nadb selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadb itu lebih mudah atau ringan .
2.    Rukhshah dan azimah adalah bentuk pembagian dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut azimah, bil;a menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.[5]

2.      AZIMAH
1.      Pengertian Azimah (العزيمةُ)
Azimah secara bahasa artinya الإرادَةُ المؤكَّدة (kehendak yang mengikat).Ada juga yang mengartiakan الصبر والجد (sabar dan sungguh-sungguh). Sebagian juga mengartikan القصد (bermaksud; memaksa).Sedangkan menurut syar’i, para ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
Imam Al Ghazali (w. 984 H) dalam kitabnya Al Mustashfa fi ‘Ilmil Ushul, mendefinisikannya sebagai berikut,
 “Apa-apa yang tetap bagi hamba dengan ketetapan Allah ta’ala.”
Al Judi’iy, dalam kitabnya Taisir Ilmu Ushulul Fiqh, menyatakan,
 “Suatu nama bagi sesuatu yang pokok dalam hukum yang tidak memiliki kaitan dengan halangan apapun.”
Jadi, azimah itu merupakan hukum pokok (hukum asal) bagi suatu perbuatan mukallaf, yang tidak ada kaitannya dengan ada atau tidaknya halangan pada diri mukallaf itu sendiri.[6]
3.      HUKUM SYARA’
1.      Pengertian Hukum Syara’
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntunan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukalaf.
A.Hanafie, dalam buku ushul fiqh, telah menjelaskan pengertian tentang hukum sebagai berikut: “hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas tang lain. Menurut syara’ adalah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa(mukallaf), firman mana yang mengandung tuntunan,membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain[7]
2.      Hukum Taklifi
Apa-apa yang mengandung tuntunan terhadap mukhalaf untuk berbuat atau menahannya dari melakukannya atau memilih antaramelakukan dengan tidak melakukannya.
1)             Tolabu fi’li, yaitu tuntutan untuk mengerjakan;
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' ( al-baqarah 43)

2)             Tolabu kaffi, yaitu tidak berbuat atau menahan;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (an-Nisa 43)

3)             Takhyiir, yaitu kebolehan mengerjakan sesuatu atau tidak berbuat;
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$#
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qasar sembahyangmu. (an-nisa 101)

3.      Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklify terbagi dalam 5 bagian, sebagai berikut:
1)   Ijab : khitab yang berisi tuntutan yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau dilakukan.hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum wujud disebut wajib.
2)   Tahrim : khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Hasil atau bekas dari tahrim disebut muhram dan pekerjaan yang dikenai hukum muhram itu dinamakan muharrum atau haram.
3)   Nadab : khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Bekas nadab disebut uga dangan nadab, sedangkan pekerjaan yanag dikenai hukum nadab disebut mandub
4)   Karahah : khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Bekas karahah disebut juga karahah, sedangkan pekerjaan yang dikenainya dinamakan makruh.
5)   Ibahah : khitab yang berisi kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Hasil ibahah dinamakan ibahah dan pekerjaan yang dikenai ibahah disebut mubah.[8]

4.      PEMBUAT HUKUM (HAKIM)
1.      Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hukim mempunyai 2 arti, yaitu:
Pertama; “pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua; “yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan.”
Dalm ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i. Dari pengertian pertama tentang hakim adalah Allah SWT. [9]
Sedang sumber-sumber hukum itu terdiri dari:
1)      Al- Qur’an, yang merupakan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
2)      Sunnah Rasul, yang menjelaskan ucapan, perbuatan Nabi sebagai Rasul Allah.
3)      Ijma’, ialah kesepakatan para ulama mujtahid mengenai ketetapan sesuatu ketentuan hukum (ditolak oleh Syi’ah).
4)      Qias, yaitu membanding-bandingkan dan menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam peraturan hukum syara’.
5)      Istihsan, ialah memandang lebih baik, yaitu menentukan hukum bukan di atas Qias yang jelas (dipakai Hanafi).
6)      Uruf, ialah adat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hasits, (dipakai maliki dan Syafi’i).
7)      Maslahah Mursalah, ialah maslahat yang tidak disebutkan dalam hukum. Menurut ulama hukum yang dibuat itu untuk keselamatan umum seperti surat cerrai, memegangi orang yang ingkar membayar zakat dll. (dipakai maliki, ditolak oleh hambali dan Syafi’i)
Menetapkan dengan mempergunakan dan berdasarkan Ijma’, Qias, Istihsan, Uruf, Maslahah Mursalah yang disebutkan di atas, besumber dari ajaran Al- Qur’an. Bahwa Al- Qur’an tidak melarang ada Ijtihad para ulama, karena ayat-ayat Al-Quran itu bersifat Qath’i (positif) tetapi ada pula ayat  Al-Qur’an yang bersifat Zhanni (tidak positif) yang mengandung pengertian lebih dari satu arti.[10]
5.      OBYEK HUKUM (MAHFUM BIH)
1.      Pengertian Mahfum Bih
Menurut Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahfum Fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meningglkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifatbsyarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah ,sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148).
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada obyeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditertapkanlah suatu hukum. Misalnya; contoh firman Allah :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
dan dirikanlah shalat,,, (al-baqarah 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakanshalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ ….
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…. (al-an’am 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.[11]



2.      Syarat – Syarat Mahfum Bih
Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai obyek hukum, yaitu:
1)      Perbuatan itu syah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
2)      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3)      Perbuatan itu suatu yang mungkin dilakukan oleh oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.[12]

3.      Macam – Macam Mahfum Bih
Dari segi  keberadaannya secara material dan syara’:
1)      Perbuatan yang secara material ada tetapi tidak temasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
2)      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebeb adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian.
3)      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan:
1)      Semata –mata hak Allah yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa terkecuali.
2)      Hak hamba yang terkait dengan kepribadian seseorang.
3)      Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan.
4)      Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan.[13]

6.      OBYEK HUKUM (MAHFUM ALAIH)

1.       Pengertian Mahfum Alaih
Ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa mahfum alaih adalah seorang yang perbuatannya dikenai khitab Alla, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahfum alaih. Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat.[14]

2.      Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman dengan kata lain, seseorang baru bisa  dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.

Syarat- Syarat Taklif
1.)    Orang itu telah mampu memahami khitab syar’i atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun melalui orang lain.
2.)    seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut sebagai ahliyah.[15]

3.      Ahliyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani  suatu urusan”. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu :
a)      ahliyyah ada’
                Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

b)                      ahliyyah al-wajib
                Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Halangan Ahliyyah
                Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya.
Berdasarkan inilah, ulama ushl fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut :
a.              Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disbabkan perbuatan manusia,
b.              Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.[16]



DAFTAR PUSTAKA

Bakri, Nazar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakata:PT Logos Wacana Ilmu. 1997
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Bineka Cipta. 1999
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 1999
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012
http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012



[1]  http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012

[2] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 322-323
[3] Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999, hlm.146
[4] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, opcit, 324-327
[5] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ibid, 329-331
[6] http://daeryu.wordpress.com/2011/07/23/antara-rukhsoh-dan-azimah-sah-dan-batal/ 10 April 2012
[7] Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm. 137
[8] [8] Syeh Abdul Wahab Khalaf, ilmu ‘usul Fikh, jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1999, hlm.. 142-144
[9] Rachmat Syafe’I, ilmu ushul fiqh, bandung; cv pustaka setia, 1999, Hlm 345
[10] Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo persada,1996, hlm. 140
[11] DR. Rachmat Syafe’I,opcit, hlm. 317-318
[12] Prof. DR. H. Amir Syarifudin, ushul fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 351
[13] DR. Rachmat Syafe’I, opcit, hlm. 331-333
[14]ibid, hlm. 334
[15] Ibid, hlm.335-336
[16] Ibid, hlm. 339-340